Para pengamat polotik pada awalnya menyambut kampanye hitam – yang masih berwarna abu-abu dengan gegap gempita. Terdapat berbagai alasan yang dikemukakan untuk membenarkan kampanye model baru – yang sebelumnya dianggap tabu menjelek-jelekkan dan mengungkap aib orang lain. Kampanye santun dan cerdas dengan mengacu pada ‘program dan slogan’ hilang digantikan dengan kampanye hitam kelam. Salah satu pihak yang berperan – selain dua kubu capres Prahara dan Jokowi-JK – adalah para pengamat politik. Mereka ini yang awalnya justru mendorong kampanye hitam dan masyarakat disuruh membedakan antara kampanye hitam dan kampanye negatif.
Para pengamat LIPI semua pemilik dan cukong lembaga survei – setelah gagal memridiksi hasil pileg – mencari alihan materi untuk menutupi ‘kesalahan pridiksi’ survei. Hanya sedikit lembaga survei yang rasional dan membuat hasil survei normal: LSI Denny JA dan Litbang Kompas. Dua lembaga ini cukup kredibel yang menempatkan urutan pemenang pemilu tak jauh dari prediksi; PDIP, Golkar, dan Gerindra atau Demokrat sebagai pemenang utama pileg. Yang lainnya secara ‘emosional’ melakukan survei yang hasilnnya jjuga emosional: jauh dari prediksi ilmiah.
Para pengamat politik – yang kehilangan muka – serta-merta mendapatkan mainan baru: kampanye hitam. Hampir semua pengamat mendorong kampanye negatif – dengan menyebutkan perbedaan antara kampanye hitam dan kampanye negatif. Hanya satu pengamat politik yakni Tjipta Lesmana yang menentang dan dengan lantang menyebutkan bahwa pada akhirnya kampanye hitam atau negatif akan memakan korban. Hanya Tjipta Lesmana yang menyebutkan bahwa publik akan kesulitan membedakan kmpanye hitam dan kampanye negatif.
Namun tetap saja para pengamat politik itu – dengan dibumbui oleh hasil-hasil survei mereka – dengan lantang menyebutkan: kampanye hitam menaikkan elektabilitas Prabowo-Hatta dan menurunkan elektabilitas Jokowi-JK. Ibarat api disiram bensin: percobaan kampanye hitam itu mendapatkan angin surga. Maka percobaan melakukan kampanye hitam secara masif dilakukan dengan harapan elektabilitas Prabowo-Hatta meningkat. Harapan itu tetaplah harapan.
Para pengamat politik – sekaligus pemilik lembaga survei yang bisa dipesan seperti LSN yang selalu salah memridiksi baik ketika menyebut Hanura sebagai pemenang ketiga pileg, maupun menyebut elektabilitas Prabowo-Hatta 53% sementara Jokowi-JK 43% adalah contoh nyata bagaimana antara pengamat dan lembaga survei berdampingan mendapatkan mainan baru: survei plus mendorong kampanye hitam – yang disebut menguntungkan Prabowo-Hatta.
Dalam politik jika hanya dua pilihan ada yang disebut ‘bertindak dengan tidak bertindak’, ‘membiarkan kampanye lawan sampai kehabisan tenaga’, ‘memerkenalkan diri dengan tidak memerkenalkan’, dsb. Contoh, membiarkan lawan politik bergerak, bertindak, dan berkampanye masif dengan demikian maka secara tidak langsung akan ada pertanyaan: kenapa hanya ada satu calon, mana calon yang lain. Dalam tahap ini, barulah timses melakukan pendekatan: bahwa ‘kami ada’, ‘bahwa kami eksis’. Kondisi ini terjadi pada kampanye pileg ketika Harry Tanoesoedibjo dan Wiranto menggeber diri dengan kampanye di jaringan televisi MSN. Hasilnya? Publik merasa neg dengan tampilan capres katrolan media massa yang dibuat seolah-olah telah menang.
Kondisi yang sama kini terjadi di televisi TVOne dan MNC Group dan media online dengan dibumbui oleh materi yang berbeda: kampanye hitam. Kini kondisi sudah tak terkontrol. Kampanye hitam – yang disebut efektif itu oleh para pengamat – akan memakan korbannya seperti yang disebut oleh pengamat politik dan komunikasi Tjipta Lesmana. Tanda-tandanya jelas tampak sekali. Televisi yang seharusnya menampilkan paparan tayangan yang berimbang justru hanya menampilkan diri dan menjadi corong kampanye satu sisi. Ini sungguh merugikan baik untuk kubu lawan atau kubu sendiri. Artinya, masyarakat langsung terpolarisasi menjadi dua kelompok pemirsa: pendukung Prabowo menonton TVOne dan pendukung Jokowi memelototi MetroTV.
Kondisi ini jelas merugikan kedua belah pihak – sekaligus menguntungkan. Jaringan televisi MNC Group dan TVOne mampu menembus 40% pemirsa, sementara MetroTV hanya mampu menembus hanya 7,8% pemilih. Tampak secara gamblang Prabowo-Hatta diuntungkan oleh kehadiran TVOne dan MNC Group, sementara Jokowi dirugikan karena tak mampu menjangkau sebanyak Prabowo-Hatta. Benarkah? Tidak juga.
Justru, kini sudah terjadi polarisasi pemirsa: pendukung Jokowi nonton MetroTV dan pendukung Prabowo memelototi TVOne. Kondisi ini ibarat ‘menggarami air laut’. Artinya media televisi hanya memertahankan pendukung tanpa bisa merebut suara kubu lain. Pemilih telah terbentuk. Itulah sebabnya elektabilitas Prabowo tetap di bawah Jokowi.
Kolaborasi antara pengamat politik dan media massa – yang diundang di stasiun televisi TVOne atau MetroTV ya selalu orang itu-itu saja dan jarang stasiun televisi saling mengundang pengamat yang sudah tampil di TV yang satunya – telah menghasilkan kampanye yang liar dan tak berkesudahan dan tak mendidik dan tak berujung dan tanpa arah.
Penggagas kampanye hitam sebenarnya harus lebih mengingat pakar komunikasi massa Tjipta Lesmana yang menyebut secara tegas bahwa belum pernah ada catatan kampanye hitam berhasil. Namun, para pengamat politik tengah menikmati euphoria keberhasilan kampanye hitam dengan naiknya elektabilitas Prabowo-Hatta. Namun, catatan kenaikan itu sebenarnya tidak menggambarkan kondisi yang 100% benar. Gambaran kenaikan elektabilitas itu tertahan. Tampaknya ada anomal. Kenapa?
Pertama, dengan 58% dukungan kursi DPR artinya 58% rakyat memilih, seharusnya tanpa kampanye pun Prabowo-Hatta dengan mudah mengalahkan Jokowi-JK yang hanya disukung oleh 38% suara kursi DPR. Tanpa kampanye pun seharusnya elektabilitas Prabowo-Hatta 58% berbanding 38% milik Jokowi-JK. Namun ini tidak terjadi. Prabowo tetap di bawah Jokowi.
Kedua, media televisi yang timpang dengan jangkauan 40% pemilih (Prabowo-Hatta dengan MNC Group dan TVOne) melawan 7% pemilih (Jokowi-JK dengan MetroTV) seharusnya dengan mudah mengalahkan Jokowi JK dengan telak. Namun ini juga tak terjadi dengan cepat.
Ketiga, media sosial yang diklaim telah memenangkan Prabowo-Hatta. Semua media sosial seperti facebook, twitter – dengan telepon seluler dan smart phone di tangan pemilih yang meliputi 70 juta pemilih- telah dengan sangat masif memberitakan, mem-broadcast, materi kampanye tanpa batasan dengan kampanye hitam. Hasilnya? Tetap Jokowi-JK tidak bergeser. Ini aneh.
Kenapa timbul anomali dan Prabowo-Hatta tetap di bawah Jokowi-JK berdasarkan survei independen seperti Litbang Kompas, LIPI, Indobarometer, dll.? Kita mesti kembali ke teori dasar seperti yang disampaikan oleh Tjipta Lesmana bahwa belum pernah ada dalam sejarah penggagas kampanye hitam menang dalam pemilu dan mengabaikan ‘komporan’ para pengamat politik yang menyebutkan kampanye hitam ‘menguntungkan’ Prabowo-Hatta berdasarkan survei. Kubu Prabowo-Hatta jangan-jangan tengah menjadi bahan percobaan bagi para pengamat atau justru tengah menjadi korban bagi kampanye cerdas yang menjerumuskan kubu Prabowo-Hatta berikut media televisi TVOne dan MNC Group.
Ingat, kontra kampanye anti kampanye hitam pun diam-diam terjadi. Jadi kampanye hitam yang terjadi juga mendapatkan perlawanan yang tak diduga sebelumnya. Perang antara kampanye hitam dan cara meng-counter-nya menjadi berita keseharian di semua alat media: TV, radio, koran, dan bahkan telepon selulur.
Jadi, kampanye hitam yang awalnya didukung oleh para pengamat, dan dilaksanakan oleh kubu capres, pada akhirnya dianut media televisi dan media online – telah menyebabkan anomali dalam pilpres yang disebabkan oleh (1) strategi kampanye hitam yang salah (terutama dari Noudhy Valdryno), dan (2) polarisasi pemilih yang telah terbentuk yang (3) didukung oleh polarisasi media massa televisi, koran dan online, (4) para pengamat yang mulai goyah melihat elektabilitas dan ‘dorongan atau komporan’ bahwa Prabowo-Hatta diuntungkan oleh kampanye hitam, serta (5) adanya perlawanan terhadap kampamnye hitam dari masing-masing kubu. Lalu siapa pemenang pilpres?
Pemenangnya adalah: capres yang dipersepsikan oleh pemilih menjadi korban kampanye hitam. Ini terkait dengan sifat dan sikap masyarakat Indonesia yang selalu memihak kepada yang dipersepsikan sebagai yang didzolimi. Ini menjawab anomali elektabililitas sekaligus anomali pilpres 2014 dalam kontestasi dan pengaruh kampanye hitam.
Salam bahagia ala saya.