10 Mar 2014 | 13:39
Perhatikan upaya baik dari pengacara Bustami maupun Ahmad Imam Al Hafitd, 19 tahun dan Assifa Ramadhani, 18 tahun, yang menjadi tersangka kasus pembunuhan Ade Sara. Pernyataan Bustami yang mengaku bingung dengan perilaku kliennya yang tertawa dan tersenyum harus diwaspadai. Berbagai latar belakang yang meliputi kasus pembunuhan oleh sepasang kekasih tersebut menarik diamati dan dikawal agar rel arah kasus tak dibelokkan oleh opini pengacara. Bahkan perlu diawasi pula upaya mengalihkan kasus ini ditutupi dengan masalah psikologi Hafitd dan Syifa.
Sehari setelah tertangkap pengacara Hafitd dan Syifa cepat-cepat menyatakan agar hukuman ringan karena mereka masih muda. Penyataan ini tak layak disampaikan di tengah upaya mengungkap kasus. Memang namanya pengacara membela karena uang, namun moral harus tetap dijunjung. Strategi mengarahkan kasus dari pidana menjadi persoalan psikologi pelaku adalah upaya kuno dan selalu dijadikan alasan untuk mengurangi hukuman – bahkan membebaskan.
Jelas bahwa Hafitd dan Syifa melakukan perbuatan berencana – bukan bela diri. Rencana pembunuhan dilakukan sejak seminggu sebelumnya. Bahkan diakui oleh Hafitd dan Syifa mereka memersiapkan alat kejut strum listrik, koran untuk menyumpal mulut dan tenggokan Ade Sara, kendaraan, jebakan janji agar Ade Sara bersedia bertemu Syifa, mengajak Ade masuk ke dalam mobil, menyeret dan menganiaya hingga tewas: modusnya balas dendam dan sakit hati, dan cemburu.
Pengacara Bustomi berusaha mengarahkan persoalan pembunuhan ini menjadi persoalan psikologi. Publik harus berhati-hati mengamati kasus ini karena Hafitd adalah berasal dari keluarga kaya raya dan memiliki jabatan. Kondisi ini terbukti dengan begitu cepatnya keluarga Hafitd menyewa pengacara. Jangan sampai uang bekerja dan pada akhirnya akan membebaskan Hafitd dan Syifa – mengingat hukum di Indonesia urusannya dengan duit.
Kasus pembunuhan pejabat di Kalibata pun sampai sekarang menjadi tak jelas karena pelaku utama sebagai otak pembunuhan adalah pejabat auditor BPK. Demikian pula kasus lainnya seperti Corby, Ola, dan aneka kasus criminal bisa hukumannya ringan karena uang. Maka tak salah jika kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Hafitd dan Syifa pun akan dibelokkan ke arah kegilaan dan masalah psikologi. Tujuannya adalah agar hakim membebaskan orang gila dan bermasalah secara psikologi. Dengan demikian maka kasus Ade Sara hanya akan menjadi kasus criminal biasa yang dilakukan oleh kedua mahasiswa keblinger tersebut.
Secara psikologi, pelaksanaan pembunuhan itu dipengaruhi oleh paparan media terkait kekerasan di televisi, film. Selain itu, pendidikan moral dan agama di Indonesia yang jeblok. Agama dan moralitas hanya menjadi hiasan. Hafitd dan Syifa dipaparkan dengan fakta orang-orang dewasa yang menggunakan agama sebagai kedok kebejatan.
Hafitd dan Syifa sebagai remaja dipaparkan pada sikap munafik dan buruk seperti korupsi di sekitar mereka dari RT sampai menteri – dari Pak RT-nya sampai senior mereka, para orang tua, yang sering didengar oleh mereka baik secara langsung maupun di televisi seperti koruptor Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah dan juga Akil Mochtar bahkan menantu kiai seperti Anas Urbaningrum pun dicokok oleh KPK dengan tuduhan korupsi – sehingga mereka terbentuk menjadi mirip dengan orang dewasa atau tua yang juga bejat.
Paparan kehidupan duniawi dan hedonis yang diarahkan pada anak-anak dan sikap permisif terhadap kejahatan oleh masyarakat juga memengaruhi Hafitd dan Syifa untuk berbuat jahat. Mereka menganggap kejahatan adalah hal yang biasa – karena masyarakat begitu memuja harta dan bahkan mungkin mereka berpikir dengan uang mereka bisa bebas dari hukuman penjara. Faktanya, pengacara mereka, Bustomi tengah menggiring opini yang mengarahkan bahwa Hafidt dan Syifa sinting dan tak waras sehingga layak bebas atau dihukum ringan.
Salam bahagia ala saya.