Kasus Ade Sara, Potret Kegagalan Orang Tua, Sekolah, dan Masyarakat

PASARKAYU
Pembunuhan terhadap Ade Sara yang dilakukan oleh Ahmad Imam Al Hafitd dan Assifa menyentak nurani bangsa. Dua remaja tersebut melakukan perbuatan keji pembunuhan terhadap Ade Sara yang tak berdaya. Pembunuhan berencana tersebut dilakukan – secara amatir dan tak canggih sama sekali. Hafitd dan Assifa melakukan pembunuhan karena cemburu dan sakit hati – suatu alasan yang sangat bisa dipahami. Motif pembunuhan seperti ini sangat manusiawi dan dapat dimengerti secara psikologi. Lalu apa latar belakang psikologi yang mendorong mereka dengan gaya mereka mampu membunuh dengan darah dingin?
Potret kita adalah potret orang tua kita. Anak-anak kita adalah potret kita. Perbuatan dan sikap anak-anak dipengaruhi oleh orang tua, keluarga, lingkungan. Orang tua menurunkan gen dan sikap serta karakter yang mirip dengan keturunannya dalam hal kecerdasan, kesabaran, sifat dan sikap. Keluarga sebagai lingkungan paling kecil memengaruhi kehidupan baik secara psikologi maupun fisik serta sosial. Kemampuan mengendalikan diri dan kebiasaan berpikir dan bersikap di lingkungan terkecil yakni keluarga akan memengaruhi kehidupan sosial di luar: sekolah, pekerjaan dan kehidupan bermasyarakat.
Orang tua yang salah mendidik anak – bisa karena tidak tahu atau tak mau tahu – akan menyebabkan keluarga dan kehidupan keluarga hanyalah sekumpulan manusia yang kebetulan hidup dalam satu rumah. Kehidupan di kota – dan juga desa – yang cenderung orang tua sibuk mencari kehidupan dan tak memerhatikan kebutuhan akan kasih sayang, cinta, kasih, komunikasi, dan perhatian.
Akibatnya, anak-anak menjadi kurang perhatian dari orang tua. Orang tua pun – yang kebanyakan menekankan pada kebutuhan fisik, makan, uang, gadget, pakain, mobil bagi anak mereka – melupakan fungsinya mendidik anak-anak mereka. Kebiasaan bagus makan malam di rumah bersama seluruh anggota keluarga pun hilang karena kesibukan – yang diganti dengan menanyakan makan di mana dan dengan siapa yang penting telepon atau kirim sms atau bbm.
Mereka berpikir sekolah adalah tempat pendidikan dan pembentukan karakter. Padahal di sekolah yang terjadi adalah sekumpulan anak-anak muda galau yang sama-sama kehilangan cinta kasih dan perhatian orang tua. Di sekolah anak-anak itu mencari kelompok yang identik dengan mereka. Maka terbentuklah geng dan kelompok berdasarkan keinginan dan karakter yang mirip. Kasus kisah cinta Hafitd – Ade Sara pun tak akan terjadi jika didikan orang tua Hafidt benar; mereka berbeda keyakinan. Beda keyakinan yang samar diyakini antara melanjutkan hubungan atau mengakhiri sungguh sulit dihadapi oleh anak-anak remaja yang belum matang – yang sudah matang saja juga bisa melakukan pembunuhan atas nama cinta.
Ade Sara sadar akan hal tersebut, namun Ade juga lupa – karena masih remaja dan labil – menjalin hubungan cinta dengan cowok yang berbeda keyakinan lagi. Nah, rupanya terjadi jurang menganga terkait keyakinan yang tak dianggap penting lagi dalam hubungan cinta: zaman dahulu agama dan keyakinan penting bagi anak-anak muda seperti kisah novel percintaan beda keyakinan dan bangsa atau suku. Kini, agama hanyalah hiasan – maka terjadilah kasus Asmirandah – Jonas yang sempat heboh – bagi KTP. Anak-anak muda kita sudah maju dan berkembang dalam toleransi beragama – atau potret kegagalan pendidikan agama yang tak teguh.
Kegagalan pendidikan di rumah dan sekolah yang tak mendidik karakter anak didik; kurikulum pendidikan yang hanya mengarahkan anak-anak menjadi cerdas intelektual namun gagal menanamkan budi pekerti dan kecerdasan sosial – sebagaia akibat didikan di rumah dan sekolah yang salah – menyebabkan anak-anak muda menjadi asosial. Tampak di mana-mana anak-anak muda kelihatan gagah, cantik, cerdas, namun ketika diamati lebih jauh anak-anak kita ternyata tak lebih dari anak-anak muda yang asocial. Anak-anak muda itu tak memiliki kepedulian sosial sama sekali – akibat kehidupan di rumah, sekolah, dan masyarakat yang tak mendidik.
Lingkungan masyarakat yang juga buruk – dengan pemenuhan kebutuhan fisik dan sikap hidup hedonis – membentuk anak-anak muda menjadi tak peka dengan lingkungan. Anak-anak muda memanjakan hidup mereka pun secara hedonis. Sekolah favorit dan mahal menjadi lambang kekayaan diri dan orang tua. Perlengkapan diri seperti telepon pintar, gadget terbaru dan mahal, laptop, computer, bahkan mobil menjadi lambang pergaulan – yang anehnya didukung sepenuhnya oleh banyak orang tua.
Bagi orang tua yang keblinger, maka dengan cara korupsi kebutuhan anak-anak dipenuhi. Hasilnya, karena harta dan makanan yang diberikan kepada anak-anak kita, maka darah mereka mengandung darah neraka – yang secara psikologi akan memengaruhi sikap dan perbuatan anak-anak kita. Anak-anak para korupor 99% akan menjadi koruptor pula karena darah mereka dialiri oleh uang haram.
Keadaan ini lebih parah lagi dengan adanya media – yang ada di genggaman mereka – yang tak terbatas dan tak bisa dibatasi lagi. Informasi apapun baik yang baik dan yang buruk dapat diakses deng dan batas jari saja; dengan jari-jari saja. Media baik film, televisi, media sosial, koran, memaparkan kemunafikan dan kehidupan orang tua yang buruk. Kasus-kasus pembunuhan, korupsi seperti yang dilakukan oleh Akil Mochtar, Tulek Wawan adik Ratu Atut, mantan Presiden PKS ustadz Luthfi Hasan Ishaaq, ustadz Ahmad Fathanah, yang dibumbui oleh aliran dana untuk para perempuan, poligami, perselingkuhan menjadi santapan setiap hari. Akibatnya, anak-anak muda kehilangan panutan dan arahan baik di rumah, di sekolah dan di masyarakat.
Jadi, pembunuhan yang dilakukan Hafitd dan Assifa terhadap Ade Sara merupakan kesalahan orang tua, sekolah yang tak mengajarkan budi pekerti dan sopan-santun, masyarakat yang munafik dan korup, media yang bebas dan pendidikan yang gagal di keluarga, sekolah dan masyarakat yang korup.
Salam bahagia ala saya.
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/03/10/kasus-ade-sara-potret-kegagalan-orang-tua-sekolah-dan-masyarakat–640478.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

IFMAC & WOODMAC 2024